Agama kita ini disebut juga agama Ibrahim. Rasulullah sering menyebut agama Islam ini adalah Millah Ibrahim, semuanya tradisi yang kita miliki meniru tradisi Ibrahimiyah, hanya sedikit modifikasi untuk dinyatakan Islam yang kita peluk ini sebagai agama yang sempurna, sebagai pelengkap ajaran Ibrahim. Rangkaian ibadah haji misalnya, tata caranya seluruhnya mengikuti tradisi nabi Ibrahim as. Oleh karena itu dalam shalat, kita tegaskan hubungan kita dengan nabi Ibrahim as, kita membaca, Allahummah shalli ‘ala Muhammad wala alihi Muhammad kama shallaita ‘ala Ibrahim wala alihi Ibrahim.
Salah satu tradisi Nabi Ibrahim as lainnya adalah perjalanan menuju Allah SWT. Mengutip kaum eksistensialis, kita terlempar di dunia ini tanpa kita rencanakan sebelumnya. Kita begitu saja tiba-tiba berada di sini. Heidegger menyebutnya Dasein (jika dipecah artinya Da Sein, ada di sana). Setelah berada di sana, kita diberi kebebasan untuk menentukan diri mau kemana. Tradisi Ibrahim adalah menuju Allah, as-sayr ilallah. Dalam Al-Qur’an ada pertanyaan yang singkat namun menyentak, “fa aina tadzhabun ?”. Tuhan bertanya kepada kita semua, “Kalian ini mau kemana ?” . Quo Vadis, where are you going ?. Nabi Ibrahim as memberi jawaban yang bagus, “Inna dzahibun ila rabbi sayahdin” artinya, “Aku sedang menuju Tuhanku, pastilah Dia memberi petunjuk padaku” (Qs. As-Shaffat : 99).
Perjalanan menuju Tuhan ini disebut sayr atau suluk, dan dalam menempuh perjalanan ini kita akan menempuh beberapa stasiun. Imam Khomeini menyebut perjalanan menuju Tuhan sebagai Mi’raj Ruhani dan menurut beliau hanya empat saja stasiun saja yang akan kita lewati. Untuk selanjutnya stasiun ini kita sebut maqam. Keempat maqam yang disebut Imam Khomeini, secara berurutan adalah ilmu, khusyuk, tuma’ninah dan mukasyafah. Maqam pertama yang akan kita lewati adalah ilmu. Dalam perjalanan menuju Allah banyak hal yang tidak kita pahami dan ketahui. Karenanya seorang salik (seorang yang menuju Allah) harus membekali diri dulu dengan ilmu.
Ilmu ini barulah stasiun pertama, justru langkah awal untuk menuju stasiun berikutnya. Namun kebanyakan kita mendapatkan ilmu sebagai penghalang untuk menuju stasiun berikutnya. Mengapa ?. Karena kita lebih senang membincangkan ilmu. Perbincangan kita menjadi bahan perdebatan kita. Ketika memiliki ilmu tentang Tuhan misalnya, seakan-akan kita telah bertemu Tuhan. Seakan-akan kita telah sampai di ujung perjalanan, sehingga kita lebih sibuk membincangkannya dari pada mengamalkan apa yang semestinya.
Setelah berada pada stasiun ilmu, sekarang kita melanjutkan perjalanan menuju stasiun berikutnya, yakni maqam khusyuk. Maqam ini tidak mudah untuk menempuhnya, kita akan mengalami puncak kerinduan yang sangat tinggi kepada Allah. Hati kita akan dilanda keresahan yang sangat, akan mengalami goncangan-goncangan batin yang luar biasa. Kita menyebut situasi ini sebagai keresahan spiritual, orang Spanyol menyebutnya, la noche oscura, malam jiwa yang gelap. Setelah berhasil melewatinya, tibalah kita pada maqam berikutnya, yakni tuma’ninah, ketentraman hati. Bagi yang telah mencapai maqam ini, maka ia akan disapa Tuhan untuk menghadap kepada-Nya sekarang juga. “Wahai jiwa yang sudah tentram (muthmainnah), kembalilah kamu kepada Tuhanmu, Tuhanmu itu ridha kepadamu dan kamu juga ridha kepada-Nya.” (Qs. Al-Fajr : 28-29). Kalau sudah sampai disitu, kita harus terus naik menuju puncak perjalanan yakni mukasyafah, yakni bertemu dengan Allah SWT.
Sudahkah Kita Bertemu Allah SWT ?
Jangan serta merta menyangka bahwa pertemuan dengan Allah SWT berarti kita tidak berada lagi di dunia ini, dalam arti kita telah meninggalkan dunia ini. Kita bisa bertemu dengan Allah sekarang dan disini. Selagi kita masih hidup. Imam Ali as, ketika ditanya, apakah Tuhan bisa dilihat atau tidak. Imam Ali as menjawab singkat, “Mustahil saya menyembah Tuhan yang tidak bisa saya lihat ?”. Allah pun menyebut, Dia bahkan lebih dekat dari urat nadi leher kita. Tapi apakah kita menyadari keberadaan-Nya ?. Allah menyebut dalam Al-Qur’an, “Kemanapun kamu menghadap, di situ ada wajah Allah.” (Qs. Al-Baqarah : 115). Sekarang ketika kita menghadap ke arah manapun kita suka. Apa yang kita lihat ? Allah kah? atau selain-Nya. Kalau yang kita lihat bukan Allah, apa berarti apa yang disampaikan Al-Qur’an itu yang salah ?. Mestinya menurut Al-Qur’an, kemanapun yang kita lihat, yang ada hanya Dia, yang tampak seharusnya wajah Allah. Bukan Al-Qur’an yang salah. Kita yang belum mengenal wajah Tuhan sehingga apapun yang kita lihat, kita tidak mengenalnya sebagai wajah Tuhan. Kita belum bertemu dengan-Nya, karenanya kita belum mengenal seperti apa Dia. Kita belum menempuh perjalanan menuju-Nya. “Wahai manusia, sesungguhnya kamu jika telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemui-Nya.” (Qs. Al-Insyiqaq : 6). Atau bisa jadi, perjalanan kita justru bukan menuju-Nya, malah menjauh dari-Nya. Karenanya Dia dengan kasih sayang bertanya, “Hai, mau kemana kalian ?”.