Termasuk dalam asas Islam yang manjadi bagian paling urgen dalam dakwah para Nabi dan Rasul adalah tauhid. Bahkan dakwah yang partama kali didengungkan oleh rasul pertama hingga nabi pamungkas, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah tauhid. Jadi bisa dibilang tauhid bukanlah hal remeh dan dianggap sembarangan.
Terus, muncul dalam benak kita pertanyaan, "Apa sih maksud dari tauhid dan substansinya?" Mau tahu? Ada baiknya kita ikuti yang satu ini!
Dalam kitab Al Hujjah fii Bayaan Al Mahajjah Abul Qasim At Tamimi menjelaskan, "Tauhid merupakan mashdar(asal dari kata) wahhada, yuwahhidu. Wahadtullaha bermakna aku meyakini Allah sendiri dalam masala dzat, sifat-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang sepadan dengan-Nya, dan tak ada yang menyerupai-Nya. Dia satu dalam dzat, tidak ada pembagian bagi-Nya. Dia satu dalam sifat, tidak ada yang menyerupai/menyamai-Nya. Dan Allah adalah satu dalam hal ketuhanan, kepengaturan, kepenguasan tidak ada sekutu. Tidak ada Rab selain-Nya. Dan tidak ada pencipta selain Dia." (Fathul Bari 13/293)
Rububiyyahnya Allah
Tauhid yang pertama adalah Tauhid Rububiyyah, yakni meyakini bahwasanya hanya Allha lah yang mencipta semua makhluk. Langit, bumi, bintang-bintang, manusia, jin dan seterusnya. Dan Allah l pula yang mengatur kekuasaannya. Allah yang menghidupkan dan yang mematikan. Allah yang memberi rizki. Tidak ada yang dapat memberi manfaat dan madharat melainkan hanya Dia. Allah yang mengatur perputaran malam dan siang. Allah pula yang mengangkat dan menurunkannya. Tiada yang dapat menanding-Nya dalam hal ini,
"Katakanlah, 'Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang kepada malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)." (Ali Imran: 26-27).
Karenanya, manusia yang meyakini adanya pencipta, pengatur alam semesta, memiliki madharat dan mendatangkan manfaat, dan pemberi rizki selain Allah l, maka sejatinyalah ia terjerumus dalam kesyirikan.
Tauhid rububiyyah merupakan tauhid yang memang telah digariskan secara fitrah pada diri setiap manusia dan tak ada yang bisa menyangkalnya,
"Para rasul mereka berkata, 'Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi…" (Ibrahim: 10)
Namun yang menjadi catatan di sini, bahwasanya keyakinan terhadap tauhid rububiyyah semata belumlah cukup menjadikan hamba terakui sebagai seorang muslim tanpa keyakinan terhadap tauhid uluhiyyah.
Tauhid Uluhiyyah
Maksud dari tauhid ini adalah meyakini bahwa Allahlah satu-satunya dzat yang pantas diibadahi dan disembah. Konsekuensinya, semua perbuatan hamba yang bermuatan ibadah mesti ditujukan hanya kepada Allah l. Dan ini pula yang yang menjadi konsekuensi dari tauhid rububiyyah.
Sangatlah tidak masuk akal apabila kita meyakini bahwa Allah yang mencipta, menghidupkan, dan mematikan, kemudian kita melakukan ibadah kepada selain-Nya. Tidak mungkin pula, kita meyakini bahwa tiada yang dapat mendatangkan manfaat dan madharat, kemudian merasa takut dan cemas terhadap selain-Nya. Bahkan Al Qur'an mensinyalir pemikiran semisal sebagai pemikiran orang-orang musyrik. Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyeru kepada mereka hanya untuk menyembah Allah semata, mereka menjawab,
"Mengapa ia menjadikan Illah(Dzat yang disembah) hanya satu saja? Sesungguhnya ini merupakan sesuatu yang sangat mengherankan." (Shad: 5)
Dan karena tauhid uluhiyah ini pula Rasulullah mendapat pepertentangan yang besar dari kaum Quraisy. Beliau dikecam, dihina, disakiti, bahkan diusir hanya karena beliau menyeru kepada tauhid uluhiyyah.
Asma dan Sifat Allah subhanahu wa ta'ala
Kasifikasi tauhid berikutnya adalah meyakini akan nama-nama dan sifat (asma wa sifat)yang dimiliki oleh Allah berdasar keterangan dari Al Qur'an dan Sunnah tanpa adanya takwil, ta'thil, takyif dan tamsil.
Ta'thil yang dimaksud adalah menghilangkankan makna atau sifat Allah. Takyif artinya mempertanyakan sifat-sifat dan nama Allah dengan 'bagaimana', sedang tamsil adalah menyerupakan Allah l dengan makhluk-Nya.
Padahal Allah menyatakan, "Tiada sesuatu pun yang semisal denga-Nya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy Sura: 11).
Nama-nama dan sifat Allah semuanya baik, jauh dari sifat cela dan kurang. Semua sifat dan nama yang disandang-Nya sempurna, jauh dan tak bisa disepadankan dengan sifat-sifat makhluk yang penuh dengan kekurangan. Ketika kita menetapkan sifat mendengar untuk Allah,seperti dalam firman,
"Dan Dia maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Tentunya, sifat tersebut tidak sama dengan sifat mendengarnya para makhluk. Pun dengan sifat sifat-Nya yang lain.
Dengan mengenal tauhid ini seorang hamaba dapat beribadah dengan benar kepada Allah l. Bagaimana mungkin seseorang dapat beribadah dengan benar seperti berdoa misalnya, jikalau ia tidak meyakini bahwa Allah Maha Mendengar terhjadap semua doa hamba-Nya?
Bagaimana mungkin pula sesorang memohon ampunan dan perlindungan kepada-Nya, jikalau ia tidak yakin akan sifat Allah yang Maha Kuat dan pengampun dosa hamba? Begitulah seterusnya.
Jadi tauhid asma wa sifat akan menjadikan hamba mengerti benar bagaimana cara bermuamalah yang benar dengan Allah lewat ibadahnya.
Allahu a'lam
dikutip dari: http://majalah-elfata.com/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=68