2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami?”5 Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)6
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata7. Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)
Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ - إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى - وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ…
“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan) -hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.“
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya8. Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus9.
Wallahu a’lam.
Footnote:
1 Sebagaimana dalam hadits Hafshah radhiyallahu ‘anha yang muttafaq ‘alaih:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya setan itu beredar dalam tubuh Bani Âdam mengikuti peredaran darah.” (pen.)
2 Tabarruj adalah memamerkan perhiasan dan bagian-bagian tubuh yang indah dan menarik serta bagian tubuh lainnya yang mengundang syahwat lelaki, yang seharusnya ditutup. (Lihat Jilbâbul Mar’ah Al-Muslimah, hal. 120)
3 Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad (2/309), dishahihkan oleh Al-Albani dengan syawahid (penguat-penguat)-nya dalam Al-Irwa’ (2/293)
4 Bakhur yaitu pengharum ruangan berupa asap dari kayu tertentu yang harum dan dibakar.
5 Seperti ipar, anak ipar, paman suami, sepupu suami, dan seterusnya yang tidak termasuk mahram. Yakni, apakah boleh bagi seseorang untuk membiarkan salah seorang kerabatnya yang bukan mahram untuk berkhalwat dengan istrinya?
6 Sanadnya memiliki dua kelemahan: 1) Abdullah bin Lahi’ah, seorang perawi yang lemah, 2) Abû Zubair, seorang perawi yang mudallis dan dia meriwayatkan dengan ‘an’anah (tidak mempertegas bahwa dia mendengarnya dari syaikhnya). Namun hadits ini memiliki syawahid (penguat-penguat) sehingga dihasankan oleh Al-Albânî dalam Al-Irwa’ (6/215-216).
7 Dalam masalah seorang lelaki memandang wajah dan telapak tangan wanita dewasa yang bukan mahram, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat haram secara mutlak. Ada yang berpendapat boleh dengan syarat tidak dikhawatirkan fitnah (godaan) dan tidak bermaksud menikmati (An-Nazhor fi Hukmin Nazhor, hal. 323). Selain itu juga ada pendapat yang lain. Lihat Ar-Raddul Mufhim (hal. 115), karya Al-Albani. (ed)
8 Ini adalah kiasan dan ada dua penafsiran yang masyhur tentang maknanya: 1) Banyak safar, 2) Banyak memukul wanita, dan ini yang lebih tepat berdasarkan riwayat Muslim yang lain dengan lafadz:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ
“Adapun Abu Jahm, dia itu banyak memukul wanita.” (Lihat Syarhu Muslim lin Nawawî, syarah hadits no. 1480)
9 Kami telah membahasnya pada jawaban Problema Anda edisi lalu.
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 29/1428H/2007, Kategori: Problema Anda, hal. 65-70. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=425)